Jumat, 19 Februari 2010

TEORI BELAJAR CONTIGUOUS CONDITIONING

Secara pragmatis teori belajar dapat dipahami sebagai prinsip umum atau kumpulan yang saling berhubungan dan merupakan penjelasan atau sejumlah fakta dan penemuan yang berkaitan dengan peristiwa belajar. Sebenarnya banyak teori-teori yang terkenal atau yang menjelaskan dan menguraikan tentang belajar, namun dalam pembahasan ini hanya ada salah satu yang akan dibahaw diantara banyaknya teori-teori belajar tersebut, yaitu teori belajar contiguous conditioning (pembiasaan asosiasi dekat).
A. Pengertian Teori Belajar Contigous Conditioning
Istilah teori belajr contiguous conditioning dibagi menjadi dua buah kata yaitu contiguous dan conditioning. Contiguous yaitu asosiasi dekat, dan conditioning yaitu kebiasaan atau yang dikondisikan. Jadi pengertian teori belajar contiguous conditioning adalah teori belajar yang mengasumsikan bahwa terjadinya peristiwa belajar itu berdasarkan kedekatan hubungan antara stimulus dengan respon yang relevan.[1]
Jadi berkembangnya prilaku anak atau siswa dalam proses belajar mengajar menurut teori ini, bukan karena adanya stimulus dan respon akan tetapi karena dekatnya hubungan antara stimulus dengan respon sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Teori belajar contiguous conditioning ini lebih sering dikenal dengan teori belajar istimewa dibandingkan dengan teori-teori belajr lainnya, dalam arti teori ini dekategorikan dengan teori yang sederhana dan efisien, karena dalam teori ini terdapat satu prinsip yaitu contiguitas (contiguity) yaitu kedekatan asosiasi antara stimulus dengan respon. Atau dengan kata lain teori belajar contiguous conditioning ini mengaplikasikan tentang pentingnya mengkondisikan kedekatan antara stimulus dan respon, beda dengan teori-teori yang mengkondisikan bahwa terjadinya peristiwa belajar mengajar itu berdasarkan adanya stimulus sehingga mengakibatkan timbulnya respon.
B. Teori Belajar Contigous Conditioning dalam Psikologi Belajar
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa teori belajar contiguous conditioning itu untuk mengutamakan prilaku dan perubahan tingkah laku organism itu melalui hubungan dekatnya asosiasi stimulus daengan respon. Menurut teori ini, apa yang sesungguhnyadipelajari orang, misalnya seorang siswa adalah suatu reaksiatau respon terakhir yang muncul atas sebuah rangsangan atau stimulus. Artinya setiap peristiwa belajar hanya mungkin terjadi sekali saja atau untuk selamanya atau mungkin sama sekali tidak terjadi.
Dalam pandangan teori tersebut (Edwin R. guthric 1886-1959), bahwa peningkatan berangsur-angsur kinerja hasil belajar yang lazim dicapai seseorang siswa itu bukanlah hasil dari berbagai respons kompleks terhadap stimulus-stimulus sebagaimaan yang diyakini oleh para behavioris lainnya, melainkan karena dekatnya asosiasi antara stimulus dengan respon yang diperlukan.
Yang dimaksud dengan asosiasi ialah hubungan antara tanggapan yang satu dengan reproduksi adalah kemampuan jiwa untuk mengeluarkan kembali tanggapan dalam hal kesadaran. Disamping itu ada juga jenis-jenis reproduksi yaitu:
1. Menurut yang menimbulkan
a. Reproduksi dengan perantara artinya timbulnya itu akibat adanya perangsang dari luar.
b. Reproduksi tanpa perantara yaitu yang dating dengan sendirinya
2. Menurut cara timbulnya
a. Reproduksi terikat yaitu reproduksi yang timbul dengan sengaja
b. Reproduksi bebas yaitu reproduksi yang timbulnya tidak disengaja dan timbulnya itu bersifat apa adanya.
Menurut Berbart dan Aristoteles dalam aliran ilmu jiwa daya, bahwa hukum asosiasi itu berlaku kepada [2]:
Hukum-hukum asosiasi : Mekanis
- Hukum serempek
- Hukum berurutan
: Logis
- Hukum berlawanan
- Hukum bersamaan

1. Hukum serempek yaitu tanggapan-tanggapan yang timbul bersama-sama. Contohnya: meja, kursi, papan dan mengga.
2. Hukum berurutan yaitu tanggapan yang mempunyai urutan timbul berhubungan dan berurutan. Contoh: 1,2,3,4 atau a,b,c,d, dll.
3. Hukum persamaan yaitu tanggapan-tanggapan yang hamper sama berhubungan dan saling mereproduksi, contoh: belut dengan ular.
4. Hukum berlawanan yaitu tanggapan-tanggapan berlawanan yang berhubungan dan saling mereproduksi. Contoh: tinggi dengan rendah, bodoh dengan pandai.
Sedangkan menurut Abu Ahmad dan Widodo Supriyono, dalam mengenal hukum-hukum asosiasi itu mereka cenderung pada pandangan ilmu jiwa modern, yaitu hukum asosiasi itu bukan seperti yang telah disebutkan di atas, melainkan hanya satu yaitu hukum kontiunitas artinya tanggapan-tanggapan yang berdekatan atau berasosiasi, tanpa serempek, berlawanan dan berurutan.
Kemudian hal-hal yang mempengaruhi asosiasi itu sendiri antara lain:
a. Keadaan jasmani seseorang
b. Tipe-tipe seseorang
c. Keperluan bereaksi terhadap perangsang.
Jadi setelah kita melihat hukum-hukum asosiasi dan hal-hal yang mempengaruhinya maka akan memudhkan kita untuk mendekatkan pemahaman tentang kedekatan asosiasi stimulus dengan respon. Dalam contoh sederhana kita dapat melihat bahwa peristiwa belajar teori contiguous conditioning memang sering terjadi, seperti mengasosiasikan 2 + 2 dengan 4 (empat), kemudian mengasosiasikan kewajiban dibulan ramadhan dengan berpuasa, dan contoh lain mengasosiasikan 17 Agustus dengan hari kemerdekaan Republik Indonesia (RI).
Jadi belajar dengan contiguous conditioning sederhana seperti asosiasi-asosiasi tersebut di atas dapat terjadi misalnya dengan menyajikan stimulus-stimulus seperti berikut:
Dua tambah dua sama dengan…………
Kewajiban di bulan suci ramadhan adalah……….
Dan tanggal 17 Agustus adalah………
Jadi dengan kita menyajikan stimulus-stimulus seperti di atas yang sebelumnya kita sudah membuat kedekatan-kedekatan, sudah barang tentu tak dapat dipungkiri lagi, bahwa kegiatan para siswa-siswa untuk melengkapi kalimat-kalimat di atas dengan kata-kata empat, berpuasa, dan hari kemerdekaan Republik Indonesia (RI) menunjukkan adanya peristiwa dalam diri para siswa tersebut.
Jadi menurut saya dalam teori contiguous conditioning ini menenkankan bahwa terjadinya peristiwa belajar atau perubahan tingkah laku seorang anak didik untuk mencapai kedewasaan berdasarkan kedekatan asosiasi antara stimulus dengan respon.

[1] Muhibbin Syah, Psikologi Belajar, (PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta: 1999), Hlm: 91
[2] Abu Ahmadi, Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, Rineka Cipta. Hlm: 23

Tidak ada komentar:

Posting Komentar